Sunday 11 June 2017

Hermeneutika Hukum Forex


Definição Hermeneutika Enam Definisi Hermeneutika Reza Antonius Wattimena Definição hermeneutika masihlah terus berkembang. Menurut Richard E. Palmer, definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (ciência da interpretação) .1 Akan tetapi, secara luas, hermeneutika juga sering dididefinisikan sebagai, pertama, teori penafsiran Kitab Suci (teoria da exegese bíblica). Kedua, hermeneutika sebagai metodologi filologi unum (metodologia filológica geral). Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (ciência de toda a compreensão linguística). Empat, hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (fundação metodológica de Geisteswissenschaften). Lima, hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (fenomenologia da existência e da compreensão existencial). Dan enam, hermeneutika sebagai sistem penafsiran (sistema de interpretação). Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara pessoal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol. Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting didalam problema penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks.2 Tulisan ini mau memberikan kerangka menyeluruh tentang keenam definisi tersebut, yang lebih banyak berfungsi sebagai pengantar pada arti sesungguhnya dari hermeneutika. Teori Penafsiran Kitab Suci Pengertian tertua, dan mungkin yang paling banyak dipahami oley banyak orang, adalah hermeneutika sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (princípios de interpretação bíblica). Ada pembenaran yang bersifat historis terhadap pemahaman ini, karena kata hermeneutika pada era moderna memang digunakan untuk mengisi kebutuhan akan panduan dalam penafsiran Kitab Suci. Akan tetapi, hermeneutika bukanlah isi penafsiran, melainkan metodenya. Perbedaan antara penafsiran aktual (exegesis) dan aturan-aturan, metode-metode, dan teori yang mengaturnya (hermeneutika) sudah sejak lama desadari, baik didalam refleksi teologis, dan kemudian didalam refleksi-refleksi non teologis. Di Inggris, dan nantinya di Amerika, penggunaan kata hermeneutika mengikuti kecenderungan umum yang mengacu pada penafsiran kitab suci. Penggunaan pertama, setidaknya yang terdokumentasikan, dapat dilihat di Oxford English Dictionary pada 1737, yakni 8220mengambil kebebasan dengan tugas khusus yang suci, yang juga berarti melakukan tugas-tugas yang adil dan hermeneutika yang bijaksana.82213 Ketika penggunaan kata hermeneutika meluas pada teks-teks não Kitab suci, biasanya teks tersebut sangatlah sulit untuk dimengerti, sehingga membutuhkan metode khusus untuk mengerti makna yang tersembunyi. Salah satu bentuk hermeneutika non kitab suci dirumuskan oleh Edward Burnett Taylor pada Cultura Primitiva (1871). Ia menulis, 8220Tidak ada legenda, tidak ada alegori, tidak rima, yang tidak membutuhkan hermeneutika untuk mengerti mitologi-mitologi.82214 Dengan demikian, seperti sudah disinggung sebelumnya, penggunaan kata hermeneutika pada bidang-bidang não kitab suci seringkali ditujukan pada teks-teks yang Memiliki makna tersembunyi yang sulit dimengerti, sehingga membutuhkan penafsiran khusus untuk menangkap makna tersebut. Kata hermeneutika biasanya seriada ditarik genesisnya sampai abad ke-17. Akan tetapi, proses menafsirkan, baik itu dalam bentuk penafsiran religius, sastra, maupun bahasa-bahasa hukum, dapat dirunut langsung kejaman Yunani maupun Romawi Kuno. Sejarahnya bisa dirunut sampai panjang sekali. Kedetilan historis semacam itu tidak dapat dipresentasikan disini. Akan tetapi, ada dua butir refleksi yang kiranya bisa berguna untuk kita, yakni akar hermeneutik yang sebenarnya bisa ditemukan dalam proses penafsiran Kitab Suci, dan pertanyaan lainnya yang mencangkup keluasan bidang refleksi hermeneutika. Tanpa bermaksud untuk terjebak dalam detil, adalah penting bagi kita untuk mencatat, bahwa ada kecenderungan um dalam metodo penafsiran Kitab Suci untuk menggunakan 8220sistem8221 penafsiran, di mana penafsiran difokuskan dengan satu metode tertentu yang telah diakui bersama. 8220Sistem8221 semacam itu seringkali dirumuskan dalam bentuk prinsip-prinsip yang berfungsi sebagai kerangka panduan. Suatu teks tidak dapat ditafsirkan dengan bersandar pada teks itu sendiri, karena hal tersebut tidaklah mungkin. Suatu teks hanya bisa ditafsirkan di bawah pengaruh semangat jaman tertentu. Misalnya, penafsiran teks-teks Kitab Suci pada jaman Pencerahan cenderung optimistik terhadap kebebasan manuscrito dan memuat nilai-nilai moral yang juga bersifat optimistis. Dalam arti ini, hermeneutika adalah cara ataupun metode cantou penafsir untuk menemukan makna tersembunyi di dalam teks. Pertanyaan lain banyak berkaitan dengan keluasan dan ruang lingkup hermeneutika. Dalam hal ini, setidaknya ada pendapat yang saling berdebat satu sama lain, yakni disatu sisi ada pendapat yang melihat bahwa hermeneutika haruslah merumuskan sebuah teori yang eksplisit sebagai panduan dalam menafsirkan teks, dan disisi lain ada pendapat yang melihat bahwa metode hermeneutika haruslah tidak dirumuskan secara eksplisit , Melainkan implisit dan terwujud di dalam praksis penafsiran yang dikaitkan dengan pengaruh-pengaruh lainnya. Misalnya, seorang teolog yang bernama Gerard Ebeling tem melhukan studiant 8220hermeneutika Luther8221. Dalam hal ini, apakah ia harus memfokuskan diri untuk tetap pada analisa persepsi Luther tentang penafsiran, atau ia harus juga menempatkan tesis Luther tentang hermeneutika dengan tulisan-tulisan Luther yang lainnya Ebeling melakukan keduanya. Masalahnya, apakah metode yang ia gunakan tersebut harus dalam bentuk-bentuk prinsip yang jelas berkaitan dengan tesis hermeneutika yang dirumuskan Luther, ataukah biarkan metode tersebut mewujud di dalam praktek penafsiran yang melibatkan berbagai aspek lain, yang mungkin mempengaruhi cara Luther merumuskan tesis hermeneutikanya. Yang paling baik memang menggabungkan keduanya, seperti yang dilakukan oleh Ebeling. Dengan demikian, di dalam tegangan antara metode hermeneutika yang eksplisit fokus pada satu fenomen, atau pada metode hermeneutika yang mau menangkap yang tersembunyi di balik fenomen-fenomen lainnya, yang mungkin mempengaruhi fenomen yang ingin dianalisa, hermeneutika dan pemahaman yang mendalam tentangnya, baik secara epistemologis Maupun ontologis, adalah sangat penting untuk mencari pengertian yang lebih dalam tentang cara manusia menafsirkan dirinya, maupun menafsirkan 8220dunianya8221. Kuliahfilsafat. blogspot Artikel Terkait Postado por MasMuhtar. Publicado às 13:45 e tem Sajajá dan Tokoh Hermeneutika A. Sejarah Hermeneutika Hermeneutika sebagai sebuah seni interpretasi di dalam sejarah muncul dan berkembang secara sporadis. Saat itu ia mulai diperlakukan untuk menterjemahkan literatur otoritatif di bawah kondisi-kondisi yang tidak mengijinkan akses kepadanya, karena alasan jarak ruang-waktu atau pada perbedaan bahasa. Sebagai cara untuk memperoleh pemahaman yang benar dan transparan, maka pada awalnya hermeneutika dipergunakan pada tiga kapasitas: a. Untuk membantu mengenai bahasa dan teks (kosa kata dan tata bahasa). B. Memfasilitasi eksegesis literatur kitab suci. C. Untuk menentukan yurisdiksi. Mathius Flacius (seorang Lutheran) adalah orang pertama yang merumuskan hermeneutika kitab suci sebagai rangekaian reformasi dan dalam pihak oposisinya terhadap dogmatika Gereja Tridentin yang menekankan terhadap interpretasi literal terhadap kitab suci. Flacius mendesak sebuah kemungkinan interpretasi yang secara universal válido dan benar melalui pendekatan hermeneutika. Setelah menolak dogma apapun yang secara tersirat cenderung menguasai eksegesis, maka hanya sebuah langkah kecil saja yang diperlukan untuk menggabungkan hermeneutika khusus terhadap eksegesis kitab suci menjadi hermeneutika umum yang menyediakan aturan-aturan bagi interpretasi apapun atas tanda-tanda, entah berasal dari yang profan atau tidak . Secara dasariyah hermeneutika adalah filosofis, sebab hermeneutika merupakan bagian dari seni berpikir. Dan penerapan hermeneutika pun sangatlah luas, yaitu meliputi bidang teologis, filosofis, linguistik (sastra) maupun hukum. Pembagian inilah yang kemudian dikenal dengan hermeneutika khusus. Teks sesungguhnya ada dalam bahasa (apakah teks itu berupa sebuah dokumen hukum, kitab keagamaan atau teks sastra), karenanya gramatika selalu digunakan untuk memperoleh sebuah kalimat, terhadap apapun tipe dokumen tersebut. Jika semua prinsip bahasa diformulasikan, ini akan membentuk hermeneutika umum. Hermeneutika inilah yang dapat digunakan sebagai base e inti semua hermeneutika khusus. Secara historis, bahwa hermeneutika pada aporisme awal hanya merupakan cara seorang anak menangkap makna baru struktur kalimat dan konteks makna merupakan petunjuk bagi anak kecil dan merupakan sistem interpretasi bagi hermeneutika umum. B. Pengertian Hermeneutika Hermeneutika berasal dari kata hermeneuein (menafsirkan) dan kata hermeneunia (penafsiran). Kata ini selalu diasosiasikan dengan dewa Hermes yang bertugas menyampaikan pesan-pesan dari dewa Olimpo ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia. Maka sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani oleh sebuah misi tertentu yang pada akhirnya hermeneutika diartikan sengan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Dan dalam versi lain Hermes berasal dari bahasa latin sermo, yang berarti para dizer (mengatakan), dan bahasa latin lainnya verbum (wordkata). Ini mengasumsikan bahwa utusan di dalam memberitakan kata adalah mengumumkan dan menyatakan sesuatu, fungsinya tidak hanya untuk menjelaskan tetapi juga untuk menyatakan. Ada tiga bentuk makna dasar dari kata hermeneuein dan hermeneuia, yaitu: a. Mengungkapkan kata-kata, misalnya para dizer. B. Menjelaskan, seperti menjelaskan situasi. C. Menterjemahkan, seperti transliterasi dari bahasa lain. Dengan demikian, interpretasi berarti atau mengacu pada tiga persoalan yang berbeda: pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan transliterasi dari bahasa asing. Hanya saja seseorang bisa mencatat bahwa secara prinsip proses Hermes sedang berfungsi dalam ketiga persoalan itu, sesuatu yang asing, ganjil, waktu yang berbeda, tempat atau pengalaman yang nyata, hadir, komprehensif sesuatu yang membutuhkan representasi, eksplanasi atau transliterasi yang bagaimana pun juga mengarah pada Pedahaman diinterpretasi. Oleh karenanya, tugas interpretasi harus membuat sesuatu yang kabur jauh, dan gelap maknanya menjadi sesuatu yang jelas, dekat, dan dapat dipahami. 1. Hermeneuien sebagai mengatakan Dalam pengertian ini interpretasi merupakan bentuk dari perkataan. Demikian juga perkataan lisan atau nyanyian adalah sebuah interpretasi. Karena alasan ini, seseorang diarahkan kepada cara sesuatu diekspresikan (gayapenampilan). Interpretasi sebagai perkataan dan ekspresi melahirkan prinsip-prinsip fundamental dari interpretasi baik sastra maupun teologi. Ia mengarahkan kita kembali pada bentuk primordial dan fungsi bahasa sebagai suara hidup yang dipenuhi dengan kekuatan ungkapan yang penuh makna. Bahasa seperti ini lahir dari ketiadaan, bukanlah tanda, tapi suara. Bahasa kehilangan kekuatan ekspresifnya (dan keberartiannya) ketika ia direduksi ke dalam gambaran visual8212tempat yang sunyi. Oleh karena itu, interpretasi teologi dan sastra harus mentransformasikan kembali tulisan ke dalam pembicaraan. 2. Hermeneutika sebagai para explicar Interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif. Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu saja, namun menjelaskan, merasionalisasikan, dan membuatnya jelas. Área eksplanasi mengetengahkan prosedur pemahaman. Dan di dalam hermeneutika área pemahaman yang diasumsikan ini disebut pra-pemahaman (pré-compreensão). Interpretasi eksplanatif membuat kita sadar bahwa eksplanasi bersifat kontekstual horizontal. Eksplanasi harus dibuat dalam horison makna dan interpensi yang pasti, dia harus melakukan pra-pemahaman subyek dan situasinya sebelum dia dapat memasuki makna itu sendiri. Hanya ketika dia melangkah ke dalam lingkaran misteri dan horison itu sendiri, seorang penafsir bisa mengerti makna tersebut. Inilah lingkaran hermeneutik yang misterius di mana makna sebuah teks tak dapat muncul tanpanya. Dalam konteks ini, fungsi hermenutik eksplanatif dalam penafsiran sastra bisa dilihat sebagai usaha untuk meletakkan fondasi di dalam pra-pemahaman bagi sebuah pemahaman teks. C. Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834) Schleiermacher (adalah seorang raksasa intelektual pada zamannya. Kendati tidak pernah menulis suatu traktat yang sistematik tentang hermeneutik dan Hanya meninggalkan beberapa catatan kecil kompedium kuliah, Schleiermacher telah meletakkan dasar hermenautika moderno. Rekonsepsinya tentang hermeneutika, Yang terbit dari refleksinya sebagai ahli eksegetika dan filologi, dipengaruhi oleh Platão, dan dinalar dalam konteks sistem idealismo Schelling, Fichte, dan Hegel. Schleiermacher melihat dua masalah universal dalam hermeneutika, yakni perjumpaan dengan sesuatu yang como kemungkinan salah paham manakala kita harus memahami pikiran Atau sejumlah pikiran lewat kata-kata. Arah baru yang dibicarakan oleh Schleiermacher adalah tekanan pada pemahaman terhadap hal yang dikatakan dalam suatu dialogia. Proses komparatif dan divinatorik yang merupakan penetrasi ke dalam struktur kalimat dan struktur pikiran pencipta hingga mengerti keaslian Yang berasal dari dalam karya, yaitu proses hermeneutika. Hermeneutika adalah kegiatan mendengarkan yang penetrative tersebut dan disinilah hakikat hermeneutika harus dikaji dan dipelajari. Bagi Schleiermacher, pemahaman tidak lain adalah mengalami kembali proses kejiwaan pencipta teks. Kita berangkat dari ungkapan yang sudah pasti dan selesai serta meniti kembali kenyataan kejiwaan yang menjadi pangkal tolak ungkapan tersebut. Semakin tegaslah Schleiermacher bahwa objek operasi hermeneutika terdapat di dalam dua bidang, yakni bahasa dan pikiran. Schleiermacher mengatakan bahwa pemahaman adalah suatu teknologi, bukan proses mekanikal, bukan ilmu, untuk menyusun kembali pikiranpemikiran orang lain. Schleiermacher melihat gaya bukan sebagai masalah hiasan. Gaya menandai kesatuan pikiran dan bahasa, kesatuan umum dan khusus di dalam projetar seorang pencipta. Pemikiran Schleiermacher bergeser dari konsepsi hermeneutika yang terpusat pada bahasa ke konsepsi hermeneutika yang terpusat pada masalah kejiwaan, masalah menentukan atau merekonstruksi suatu proses mental yang yang hakikatnya tidak lagi bersifat kebahasaan. Ia melampaui diskusi tentang bangunan aturan-aturan. Minatnya pada masalah kejiwaan adalah prestasi khas Schleiermacher, tetapi ia cenderung mengaburkan unsur kesejahteraan dan unsur pentingnya bahasa dalam analisis arti. D. Wilhelm Dilthey W. Dilthey (1833-1911Dilthey, berpendapat bahwa definisi-definisi filsafat adalah dokumen sejarah yang dapat memberikan informasi tentang situasi kejiwaan suatu zaman. Tujuan seluruh pemikiran Dilthey tentang hermeneutika adalah mengembangkan metodo menganalisis ekspresi kehidupan batin 8220yang secara objektif sah8221. Titik Tolk dan titik akhirnya adalah pengalaman konkret. Dilthey menerangkan escondido, ekstensi manusia, dengan pertolongan konsepsi-konsepsi ilmu alam adalah tidak benar. Ilmu alam memisah-misahkan unsur-unsur, sedangkan hidup, yang berupa kenyataan historikal-sosial tidak dipisahkan ke dalam unsure - Hidup mempunyai suatu struktur hermeneutikal. Demikian orientasi pemikiran Dithley. Hidup tidak dapat dideduksikan dari prinsip-prinsip. Hidup tidak dapat diterangkan, tetapi dapat dipahami. Pemahaman, menurut Dilthey adalah nama untuk proses pengetahuan kehidupan kejiwaan lewat ekspresi-ekspresinya yang diberikan pada indra Pemahaman menunjukkan be Rbagai tingkatan. Tingkatan, pertama-tama ditentukan minat. Bilamana minat terbatas, pemahaman juga terbatas. Bilamana kita memahami dengan memproyeksikan diri kita pada objek, berarti kita memahami objek sebagai keberadaan yang juga berkesatuan itu. Dalam pemikiran Dilthey, sifat kesejarahan (historikalitas) hidup senantiasa ditekankan. Mengabaikan hal tersebut berarti menjurus ke dalam objektivitas ilusif sebab manuscrito yang cirinyua histórico tidak mungkin dipahami secara semestinya. Pemahaman terhadap masa lalu bukan merupakan bentuk perbudakan, tetapi bentuk kemerdekaan, yakni kemerdekaan guna mengetahui diri dengan semakin penuh dan kesadaran akan kesanggupannya untuk menuruti hendak menjadi apa. Hakikat hubungan arti, menurut Dilthey, terletak di dalam hubungan yang dalam proses perjalanan waktu termuat dalam pembentukan hidup yang terjadi secara bertahap. Arti dan keberartian senantiasa bergantung pada hubungannnya, merupakan bagian dari situasi. Arti bersifat historikal yakni berubah bersama waktu. Arti adalah masalah hubungan, menunjuk pada jaringan hubungan budaya yang saling berkaitan dan senantiasa berkaitan dengan suatu perspektif dari sisi peristiwa. Kenyataan adanya lingkaran dalam proses pemahaman mengungkapkan masing-masing bagian mengandaikan yang lain sehingga konsepsi pemahaman tanpa pengandaian tidak mempunyai dasar faktual. Ilmutuhan. blogspot Artikel Terkait Postado por MasMuhtar. Publicado às 18:25 e tem

No comments:

Post a Comment